Kamis, 01 Agustus 2013

Kejujuran Seorang Penjual Koran

Ini tugas Bahasa Indo sebenernya, share di sini ga papa kali ya=)) cekidot. capcus dibacaa~~
Teriknya matahari, suara klakson kendaraan yang tidak sabaran, suara pedagang asongan yang menjajakan dagangannya bercampur menjadi satu, ditambah lagi dengan sembrononya lalu lintas. Para pengendara motor yang menerobos lalu lintas, mobil-mobilan yang dengan santai melewati  jalan busway. Aku sudah terbiasa dengan suasana seperti ini. Beginilah pekerjaanku, menjajakan Koran di tengah keramaian ibu kota. Pada saat anak sebayaku sedang menikmati masa remajanya, berjalan-jalan dan bersantai dengan teman mereka. Berfoyafoya dengan menikmati kekayaan orang tua mereka. Sedangkan aku? Harus berjuang mati-matian untuk mengidupi kedua adik dan ibuku. Apakah ini adil tuhan?
            Inilah hidupku, seorang anak berusia 13 tahun yang sedang berkembang menjadi remaja. Eti, begitulah aku dipanggil. Hidupku dulu tidak seperti ini, hidupku begitu indah, tapi itu semua berakhir saat si jago merah memporakporandakan rumah ku dan keluargaku. Semua harta kami ludes. Dan karena itu juga, tuhan memanggil sosok yang aku sangat kagumi dan kusayangi, ayahku. Aku dan keluargaku berbulan-bulan hidup lontang lantung di jalanan. Tapi ternyata tuhan masih sayang dengan aku dan keluargaku. Kami bertemu dengan seorang dermawan bernama Pak Budi. Beliau yang memberikan kami rumah yang kami tempati sekarang, dengan Cuma-Cuma. Beliau bekerja sebagi agen Koran di kota ku. Beliau juga yang memberikan aku pekerjaan sebagai tukang Koran ini. Sungguh mulia hati bapak ini, suatu hari nanti aku akan membalas budi padanya.
            Aku terpaksa putus sekolah, karena aku tak bisa melunasi biaya sekolahku. Tetapi aku bertekad, kedua adikkau harus tetep bersekolah agar mereka bisa menjadi orang yang pintar dan berguna. Dan di surga sana, ayah bisa bangga melihat mereka menjadi orang yang berguna. Tak apa jika aku menjadi orang yang bodoh dan tak tau apa-apa. Tapi jika mereka berdua tau segalanya, aku akan jauh lebih bahagia. Sebenarnya, di lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat ingin bersekolah. Aku sangat rindu pada teman-temanku dulu. Aku rindu saat guruku menerangkan hal baru padaku, aku sangat tertarik dengan itu. Tapi apa daya? Takdir berkata berbeda. Takdirku bukan berada di sekolah. Tapi di sini, di jalanan. Bukan bersama dengan pulpen dan buku pelajaran. Tapi di sini dengan kumpulan uang kumal dan Koran yang ku jinjing setiap hari. Sebenarnya, di bawah kolong jembatan itu, ada sebuah sekolah yang di bangun oleh relawan untuk anak-anak jalanan sepertiku. Aku ingin sekali ikut itu. Tapi kalau aku bersekolah di sana, siapa yang akan menghidupi keluargaku? Hanya bergantung pada hasil pekerjaan ibu sebagai penjual kue saja tidak dapat membiayai adik-adikku sekolah. Itu hanya cukup untuk biaya makan saja. Sudahlah, jika tuhan memang berkehendak agar aku bersekolah, suatu saat nanti pasti aku akan bersekolah juga. Aku tersadar dari lamunanku saat pemilik warung tempatku beristirahat mengguncang tubuhku karena warungnya akan segera tutup
            Kulangkahkan kaki ku keluar dari warung nasi tempatku beristirahat sejenak. Aku kembali bergelut dengan pekerjaanku, menjajakan Koran. Kira-kira pukul setengah 4, semua koranku sudah laku semua. Aku pun segera menyerahkan setoran ke Pak Budi. Kemudian kembali ku langkahkan kakiku menuju rumahku. Waktu sudah menunjukkan pukul 5. Sang surya sebentar lagi akan kembali tertidur dan digantikan oleh sang rembulan. Kira-kira sekitar 15 menit ku berjalan, sampailah aku di depan rumah mungil yaitu rumah Pak Budi yang aku tempati. Mungkin kedua adikku sedang memasak, aku akan membantunya. Walaupun kedua adikku itu masih SD, yang pertama kelas 6 sd dan yang kedua kelas 4, tetapi kalau masalah masak-memasak. Mereka jagonya.
“Asslamualaikum. Risma,Dina, kakak pulang nih” teriak ku ketika masuk rumah memanggil kedua adikku. Tapi tak ada jawaban dari kedua adikku. Aku terus memanggil-manggil mereka berdua, tapi tetap tak ada jawaban. Coba kuperiksa semua bagian dalam rumah, tetapi tak kunjung jua kutemukan mereka berdua. Aku pun mulai panik, ku coba untuk bertanya pada tetangga sebelah. “Mba Rina ngeliat Risma sama Dina ga? Kok di rumah ga ada ya?” tanyaku pada tetangga sebelah rumahku. Kulihat perbedaan raut wajah dari wajah Mba Rina. Sekarang wajahnya menjadi seperti sedih, seperti ada yang ingin dia sampaikan padaku. Setelah ku tunggu tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Mba Rina. “Mba jawab dong, mereka berdua ke mana. Kok mba diam sih.” Kataku mulai panik melihat ekspresi dari Mba Rina. “Itu….. dua adik kamu tadi pergi ke rumah sakit” jawabnya lemah. “Apa? Ke rumah sakit? Sipa yang sakit mba?” Jawabku sedikit berteriak, aku sekarang benar-benar panik. “Tadi itu… ibu kamu kecelakaan, dia tertabrak motor waktu mau pulang.” Sontak air mataku dengan sendirinya mengalir, tak bisa kutahan lagi.
Apalagi ini tuhan? kau memberikan aku cobaan yang begitu berat seperti ini. Apa salahku tuhan????!!! . “Yang sabar ya Ti, ini cobaan dari Allah.” Kata Mba Rina menyemangatiku sambil merangkulku. Aku hanya terdiam sesegukan tidak bisa berkata apa-apa. Mba Rina melepaskan rangkulannya, kemudian masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya terdiam mematung sambil menangis sesegukan. Beberapa menit kemudian, Mba Rina datang dan mengulurkan tangannya. Mba Rina menyerahkan dua uang 50 ribu kepadaku “Ambil ini ti, itung-itung buat nambah biaya pengobatan ibu kamu.” Kata Mba Rina. Aku ambil uang itu, ternyata banyak sekali orang yang berhati mulia di dunia ini. “Makasih Mba Rina. Suatu saat pasti Eti ganti kok uangnya” jawabku. “Sudah Eti, ga usah diganti, Mba Rina ikhlas kok ngasinya, sekarang kamu pergi ke Rumah Sakit, temenin adik kamu di sana. Mereka pasti butuh kamu,Ti” ujar Mba Rina sambil membelai rambutku. “Iya mba, sekali lagi makasih ya.” jawabku sambil berlari menuju rumahku untuk mengambil uang tabunganku, aku yakin pasti uang ini akan dibutuhkan.
Ku stop angkot yang lewat di depan gang rumahku. Aku menuju ku rumah sakit tempat ibu ku dirawat. Kurang dari 10 menit angkot itu berhenti di depan Rumah Sakit. Aku segera berlari ke dalam Rumah sakit, menuju ke resepsionis untuk menanyakan kebradaan pasien kecelakaan. Aku kembali berlari saat kutau ternyata ibuku masih di ruang ICU. Ku lihat di depan ruang ICU kedua adikku sedang duduk sambil menangis sesegukan. “Risma,Dina!” teriakku memanggil kedua adikku. Sontak mereka menoleh, aku pun merangkul mereka. Dina berkata, “Kak, ibu kak… hiks..” ucap Dina tidak dapat melanjutkan perkataannya. “Iya din, iya. Kakak tau, kita harus sabar. Ini  cobaan dari Allah untuk keluarga kita” jawabku berusaha tegar di depan kedua adikku. Padahal di dalam hatiku, aku jah lebih terpukul dari mereka.
Seorang dokter dan dua orang perawat keluar dari ruang ICU. Aku bersama kedua adikku menghamprii doket dan suster itu. Dokter itu mengatakan bahwa keadaan ibu sudah stabil. Semua lukanya tidak ada yang berat. Tapi ibu harus dirawat di Rumah Sakit selama satu minggu agar ibu benar-benar pulih dari luka-lukanya. Salah satu suster memanggilku dan membawaku ke sebuah ruangan. Suster bertanya, “Dik, Ibu kamu mau dirawat di sini kan? Mau yang kamar apa? VIP atau biasa atau bangsal?”. “Yang paling bagus apa sus?” Tanyaku pada suster itu. “Yang paling bagus ya VIP dek, sehari nya Satu Juta Lima Ratus Ribu, DP nya Tujuh Ratus Ribu”. Aku tersentak, begitu mahal biaya pengobatannya, hanya sehari dikenakan tarif Satu Juta Lima Ratus Ribu?. “Kalau yang paling murah ya Bangsal dik, perhari seratus ribu. Dp nya Lima puluh ribu.” Aku mulai berfikir cepat. Jelas aku tidak akan memilih yang kelas VIP, karena uang ku tidak mungkin sampai segitu. Aku putuskan untuk memilih yang bangsal.
Uang tabunganku masih belum cukup untuk melunasi biaya pengobatan ibu untuk 7 hari ke depan. Aku hanya bisa melunasi uang obat dan dp. Aku bingung harus melakukan apa sekarang. Aku berjalan lunglai pulang ke rumah untuk mengambil barang-barang yang diperlukan ibu. Karena sudah malam, jelas tidak ada angkot. Aku terpaksa jalan kaki dari Rumah Sakit ke Rumah. Di perjalanan, aku melihat hape yang tergeletak di jalan raya. Mereknya Blackberry. Kalau aku menjual hape ini, pasti mahal. Toh ini keliatannya seperti baru juga. Uangnya bisa aku gunakan untuk biaya pengobatan ibu. Astagfirulloh, apa yang aku pikirkan barusan, itu sama saja artinya mencuri. Mencuri itu dilarang agama. Astagfirulloh, maafkan hamba Ya Allah, hamba khilaf. Aku ingin mengambalikan hape ini, tapi ke mana? Dan ke siapa? Malam itu jalan yang kulewati tadi sangat sepi. Ku coba nyalakan hape itu, kulihat Wallpaper hape itu. Sebuah keluarga kaya yang tampak begitu bahagia. Ibu, bapak, dan dua orang anak.
Ku putuskan untuk menelfon panggilan terakhir yang tertera di hape tersebut. Aku melihat nama yang tertera adalah “Rumah”. Mungkin saja ini rumah orang yang memiliki hape ini. Aku pun menelfon nomor tersebut. Kurang dari setengah menit, seseorang di sebrang sana mengangkat telfon ku. Terdengar suara parau dari seseorang di ujung sana. “Halo, kediaman Bapak Yanto, ini saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”. Apa yang harus aku ucapkan? Terlihat lucu jika aku mengatakan bahwa aku menemukan hape nya yang tergeletak di jalanan, malah terdengar seperti penipuan. “Halo? Dengan siapa saya bicara ini?”. Suara seseorang di ujung telfon itu terdengar meninggi. Akhirnya aku memutuskan untuk mengaku bahwa aku menemuka hapenya. “Ini dengan Eti, Pak Yanto. Saya hanya ingin bertanya, apa bapak merasa kehilangan hp? Saya menemuka sebuah hp tergeletak di jalan. Saat saya melihat panggilan terakhirnya, nomer inilah yang terakhir dihubungi oleh yang memiliki hape.” Ucapku tidak ragu. Kemudia Pak Yanto menjawab kembali,”Hape? Ah iya benar itu hape saya. Terimakasih ya nak Eti. Apa nak Eti bisa mengantarkan hape saya ke rumah saya? Rumah saya di Jalan Maluku No 44 BTN Taman Merdeka. Nak Eti tau kan alamat itu?”. BTN Taman Merdeka? Setau ku itu adalah perumahan elit yang di dalamnya terdapat rumah-rumah mewah. “Iya Pak saya tau alamat itu, tapi saya akan mengantarkan hape Bapak besok pagi karena ini sudah malam dan saya juga sekarang ada keperuluan. Saya pasti akan mengembalikan hape bapak. Bapak jangan khawatir.” Jawabku dengan berpikir panjang. “Baiklah nak, bapak percaya dengan kamu, besok pagi jam 8 ya. Saya tunggu, selamat malam”. Terdengar suara telfon dimatikan. Aku pun memasukkan hp itu ke dalam saku kantong celanaku dan kembali melanjutkan tujuan awalku untuk mengambil barang-barang ibu.
Keesokan harinya, aku terbangun dari tidur ku ketika sang surya sudah sedikit memancarkan sinarnya. Ku lihat sekelilingku, aku tersadar sekarang aku berada di Rumah Sakit. Ku lihat di ranjang, Ibu ku terbaring lemah. Ibu sudah dipindahkan ke kamar rawat. Tapi beliau masih belum siuman. Kenapa ibu yang harus mengalami ini semua? Kenapa hidupku menjadi seperti ini? Tanpa ku sadari air mataku menetes mengalir membasahi pipiku. Kenangan masa-masa indah kehidupanku di masa lalu, bersama almarhum ayah, ibu dan kedua adikku kembali terputar di memoriku. Andai waktu dapat diulang, aku akan mengehentikan kebakaran di rumahku dengan berbagai cara. Agar semua ini tidak terjadi kembali. Aku tidak tega melihat ibu yang harus membanting tulang hanya untuk sesuap nasi bagi kami. Aku juga tak tega melihat kedua adikku yang masih kecil, tetapi diberikan cobaan seperti ini. Tapi inilah namanya takdir. Apa yang harus aku perbuat sekarang? jika terus menyalahkan takdir aku tidak akan maju. Yang harus aku lakukan adalah bekerja keras untuk mengidupi mereka semua. Aku berjanji tidak akan menyalahkan takdir lagi. Sama saja artinya jika aku menyalahkan takdir berarti aku menyalahkan Allah, astagfirulloh.
Di pikiranku terbersit sesuatu. Ah iya, aku ada janji dengan Pak Yanto yang memiliki hape yang kutemukan tadi malam. Aku bergegas untuk mandi di kamar mandi rumah sakit dan kemudian berjalan menuju ke rumah Pak Yanto. Kira-kira 15 menit akhirnya aku sampai juga di depan rumah Pak Yanto. Yang dari luar saja terlihat dari rumah itu kalau pemilik rumah ini adalah seorang koglomerat. Di garasinya saja berderet mobil-mobil mewah yang mustahil akan kumiliki. Sibuk melihat rumah ini dari depan, aku pun tidak sadar satpam rumah itu sedang melihat ke arahku. “Dek, ada apa ya? Kami tidak menerima sumbangan dek. Maaf ya.” Ucap satpam itu merendahkan ku. Walaupun aku ini adalah orang miskin, aku tidak akan hidup dari belas kasih orang lain. “Maaf pak, saya bukan meminta sumbangan. Saya ingin bertemu dengan Pak Yanto. Apa benar ini rumah Pak Yanto?” ucapku sambil berusaha menahan emosiku. “Iya benar sekali ini rumah Pak Yanto, tapi adek ada perlu apa? Sudah membuat janji?” Tanya satpam itu seperti dia menandakan dia harus mengetahui semua keperuluan dari tamu Pak Yanto. “Yang jelas saya ada keperluan penting dengan Pak Yanto dan saya juga sudah membuat janji dengan Pak Yanto.” Jawabku dengan tegas. “Baiklah dik, sekarang kamu boleh masuk” kata bapak itu. Ku langkahkan kaki ku ke dalam rumah mewah itu. Aku sangat penasaran dengan dalam rumah itu, tapi aku hanya dibolehkan masuk sampai halaman depan saja. Beberapa menit kemudian, sosok seseorang bapak separuh baya yang sangat berwibawa keluar dari dalam rumah itu. “Kamu Eti? Yang tadi malam menelfon saya?” ucapnya memulai pembicaraan setelah menyuruhku duduk di kursi depan rumah itu. “Iya benar sekali. Pak Yanto kan benar?” jawabku. “Benar. Jadi tutup point saja, kamu yang mengambil hape saya kan?” katanya dengan sinis. Apa?! Apa maksud dari bapak ini?! Mengambil?! .” Maaf pak, saya tidak mengambil hape bapak. Walaupun saya ini orang miskin tapi saya ini orang beragama pak. Saya memiliki tuhan, saya mengerti ajaran agama tidak diperbolehkan untuk mengambil barang orang lain tanpa izin. Sama saja itu artinya mencuri. Mencuri itu perbuatan dilarang agama, Pak” jawabku sambil benar-benar berusaha menahan emosi ku yang sebentar lagi akan meledek. Aku sadar aku hanyalah seorang penjual Koran miskin, dan beliau adalah konglomerat, yang memiliki semuanya. Tapi, dengan kekayaan itu dia tidak berhak untuk mencela harga diriku seperti ini. Aku tidak akan terima.
“Lalu kalau bukan mencuri namanya apa? Ya memang di dunia ini mana mungkin ada maling yang mau mengaku ya. Bisa-bisa penjara penuh dong. Ini kan rencana kamu, kamu mengambil hape saya kemudia mengembalikan nya dan meminta imbalan. Ini kan maumu? Ambil deh.” Jawabnya sambil mengeluarkan uang seratus ribu. Semakin. Sudah habis kesabaranku sekarang. “Demi Allah pak, saya berani bersumpah saya tidak mengambil hape bapak. Saya kemarin tidak sengaja menemukan hape bapak tergeletak di jalanan. Saya berniat baik untuk mengembalikannya kepada bapak. Tapi bukannya berterimakasih bapak malah berkata yang bukan-bukan. Saya juga tidak meminta imbalan, saya ikhlas mengembalikan hape bapak. Jangan mentang-mentang bapak orang kaya bapak dengan seenaknya merendahkan harga diri saya sebagai orang kecil. Siapapun juga tidak akan terima jika diperlakukan seperti ini.” Jawabku penuh emosi. Ku luarkan hape itu dari saku ku dan kuletakkan di atas meja di depan ku. “Saya tegaskan sekali lagi kepada bapak, bahwa saya tidak mengambil hape bapak. Kedatangan saya ke sini hanya untuk mengembalikan hape bapak. Terserah bapak mau percaya atau tidak. Saya pamit pulang.” Jawabku kemudian berjalan ke pintu gerbang rumah itu.
“Tunggu dulu!” teriak bapak itu. Aku kemudian menoleh ke belakang. “Maaf atas perkataan saya tadi, sebenarnya saya tidak bermaksud merendahkan harga diri kamu nak. Saya hanya ingin mengetes kamu. Karena saya banyak menemukan orang yang melakukan sesuatu karena ada hal di baliknya. Sedangkan kamu, kamu melakukannya dengan ikhlas, tanpa meminta imbalan. Terimakasih ya nak kamu sudah menemukan dan mengembalikan hape saya. Kalau bukan karena kamu, saya sekarang pasti sedang kerepotan. Karena di dalam hape saya terdapat banyak nomor-nomor penting. Sebagai permintaan terimakasih dan permintaan maaf saya, saya mengajak kamu untuk makan bersama di rumah saya sekarang. Apa kamu mau?” jawabnya sambil menyungginggkan seulas senyum. Aku sebenarnya ingin makan bersama dengan Pak Yanto tapi ada pekerjaan yang harus aku lakukan. Aku harus bekerja lebih keras untuk mebiayai biaya rumah sakit ibu. “Maaf pak, bukan saya tidak mau, tapi ada pekerjaan yang harus saya lakukan. Lain kali saja pak.” Jawabku dengan halus agar pak Yanto tidak tersinggung atas penolakanku. “Baiklah nak, sungguh kamu anak yang baik. Kalo saya ingin bertemu kamu bagaimana caranya? Apa ada nomor yang bisa saya hubungi?” Tanya Pak Yanto. “Saya tidak memiliki nomor pak. Kalau bapak ingin menemui saya, bapak bisa pergi ke perempatan lampu merah Jalan Sudirman. Saya biasa di sana jadi tukang korang pak.” Jawabku. Bapak itu hanya mengangguk-angguk. Kemudian dia mengeluarkan dua uang seratus ribu dan menyerahkan padaku. “Ambil ini nak. Jangan tersinggung nak, saya hanya salut pada kamu. Anak sekecil kamu harus bekerja sebagai penjual Koran. Mungkin uang ini bisa membantu kamu. Ambil lah nak.” Akhirnya aku mengambil uang itu, karena memang aku sekarang sedang membutuhkan uang. Terimakasih ya Allah, kau turunkan lagi satu malaikat untuk membantu hamba.
Aku pun berpamitan, kemudia pergi menuju agen Koran untuk mengambil Koran yang aku jual. Sampai pukul 12, Alhamdulillah Koran ku sudah setengah terjual. Aku sempatkan ke Rumah Sakit untuk melihat bagaimana keadaan ibu. Saat aku ke rumah sakit, yang pertama kali aku lakukan adalah membayar kamar ibu karena Alhamdulillah tadi aku mendapat rezeki dari Pak Yanto. Saat aku masuk ke kamar ibu, ternyata ibu sudah siuman. Alhamdulillah, Allah sudah meringankan bebanku. Saat aku sedang bercakap-cakap dengan ibu, ku dengar pintu kamar ibu diketuk dari luar. “Masuk” ucapku. Ku pikir dokter dan suster yang datang untuk mengecek keadaan ibu. Tapi ternyata yang datang adalah Pak Yanto. “Bapak? Kenapa Pak Yanto bisa di sini?” kataku terkejut. “Siapa bapak ini Eti? Kamu kenal dengan bapak ini?” Tanya ibu heran. Aku pun menceritakan semua kejadian hingga aku bertemu dengan Pak Yanto. “Bagus Ti. Ibu bangga dengan kamu,nak. Alhamdulillah hasil didikan ibu kamu terapkan juga” jawab ibu dengan suara parau. Ku lihat mata ibu berkaca-kaca. “Lalu pak? Bapak ada perlu apa dengan saya? Ada yang bisa saya bantu?” Tanya ku pada Pak Yanto. “Begini nak Eti, dari tadi pagi bapak sudah mengikuti gerak-gerik kamu. Bapak sangat kagum dengan kamu, kamu sangat bekerja keras untuk menghidupi keluarga mu dan juga untuk mebiayai ibu mu yang sedang sakit. Tapi sekarang kamu tidak perlu repot untuk membiayai ibu mu, karena semua biaya rumah sakit semuanya sudah saya tanggung. Dan besok, ibu kamu akan dipindahkan ke kamar kelas VIP. Itu semua saya yang menanggung.” Jelas Pak Yanto panjang lebar.
Tak kuasa ku tahan air mata bahagia yang mengalir membasahi pipiku. Ku layangkan pelukanku pada Pak Yanto. “Terimakasih pak terimakasih banyak” ucapku pada Pak Yanto. Ibu ikut berterimakasih sambil menangis bahagia. “Tapi apakah saya boleh meminta satu permohonan untuk Eti?” kata Pak Yanto. “Permohonan apa pak? Kalau saya bisa tentu saya akan mengabulkan permohonan bapak.” Jawabku. “Bapak lama sekali merindukan sosok anak di rumah bapak. Kedua anak bapak sekarang sudah tidak ada, mereka sudah dipanggil oleh yang maha kuasa karena sebuah penyakit ganas. Apa kamu mau tinggal di rumah bapak bersama keluargamu? Bapak akan menanggung semua biaya pendidikan kamu hingga kamu dewasa.” Kata Pak Yanto mengajukan permohonannya. Aku hanya bisa terpaku mendegarnya. “Apa istri bapak tidak keberatan jika kami berada di rumah bapak?” kata ibu ikut bertanya. “Tentu istri saya tidak keberatan. Dia juga merindukan keramaian di rumah kami seperti dulu. Kalau kamu dan keluarga mau tinggal di rumah kami pasti rumah kami akan berwarna.” Jawab pak Yanto. Aku bingung. “Bagaiamana bu?” Tanyaku meminta pendapat ibu. Ibu pun mengangguk. Spontan aku memeluk ibu dan Pak Yanto secara bergantian. Hidupku mulai berubah sejak saat itu.
~10 Tahun kemudian
Hari ini begitu melelahkan bagiku, mengajar beberapa kelas dalam sehari. Tapi aku sangat menyukai pekerjaanku ini. Inilah pekerjaanku, sebagai seorang dosen. Mungkin banyak yang tidak percaya. Aku adalah Eti yang dulu, tepatnya 10 tahun yang lalu adalah seorang penjual Koran. Sekarang telah menjadi seorang dosen terkenal di kotaku. Aku berhasil menamatkan kuliahku dengan sangat cepat dan meraih predikat terbaik se-Universitas dalam S1 ku. Aku S2 di Amerika dan S3 di Australia. Dan sekarang aku menjadi seorang dosen Universitas Indonesia. Semua biaya pendidikanku dibiayai oleh Pak Yanto. Betapa beruntungnya aku. Dan keluargaku hidup bahagia sekarang, Risma sekarang menjadi asisten dosen di universitasnya. Sedangkan Dina sedang menjalani S2 nya di Inggris.
Aku tidak pernah melupakan jasa orang-orang yang membantuku dulu. Pak budi yang memberikan rumah dan Mba Rina yang memberikan uang tambahan biaya rumah sakit. Aku setiap bulan selalu mengunjungi mereka, sekedar berbicang-bincang dan membagikan rezeki untuk mereka. Inilah yang dinamakan takdir, jika kita terus berusaha dalam bekerja maka kita akan berhasil juga. Dan jangan lupakan sebuah kejujuran. Kejujuran adalah hal penting dalam melakukan apapun. Berkat kejujuran, aku, yang dulunya seorang penjual Koran sekarang telah berubah menjadi sosok seperti ini. Tapi jangan pernah takabur atau sombong jika kita sudah memiliki semuanya. Lihatlah ke bawah, masih ada banyak orang yang harus kita ulurkan tangan. Ingat juga bahwa roda kehidupan selalu berputar, kadang kita di atas dan kadang kita berbalik menjadi di bawah
 
Garing ya ceritanya? yah begitulah amatiran namanya juga baru belajar=))
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar